PERKEMBANGAN
BUDAYA BELIS DALAM SISTEM PERKAWINAN ADAT MANGGARAI
Oktavianus
Ardis
Program
Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Belis culture is
one part of the cultural heritage in Manggarai Kingdom.
Belis original tradition
(dowry) in Manggarai
not cause deep anxiety
of the population. Belis regarded as a
precious value in
Manggarai traditional marriage system. Belis
interpreted as binding of brotherhood and kinship
between the families of women with a family
man. At present,
the significance embodied in the culture shift belis
because only nominal
belisnya forward regardless
of the value contained therein.
This is certainly cause anxiety and unrest
in the middle of a
situation that continues to Manggarai
society plagued by poverty. This study aims to determine the response Manggarai youth
who wander on the island of Bali for which culture conditions belis shifting values. Data collection methods used in this study is based
on interviews with several
questions. Respondents who used amounted to 5
people ranging in age from 20-25
years.
Key word: belis culture, meaning belis, the response of the younger generation Manggarai
PENDAHULUAN
Secara praktis, kebudayaan dapat dimengerti
sebagai kumpulan dan pemaknaan atas nilai-nilai. Sebagai kumpulan nilai-nilai,
kebudayaan berkarakter pencarian menjadi titik akhir pencarian manusia akan
sesuatu yang dianggap bermakna bagi hidup. Dan pada dasarnya setiap manusia
memiliki motif tunggal dalam pengembaraan hidup yaitu mengejar aneka nilai.
Nilai yang dikejar adalah nilai baik dan menjadi keutamaan sehingga wajib
terpenuhi. Pengejaran itu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi selalu
bersama orang lain. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial daripada
individual sehingga masyarakat dipahami sebagai kelompok individu yang
berorganisasi secara tetap dan mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai
kesadaran akan hubungan dengan golongannya (Dagur, 1997).
Budaya belis adalah salah satu bagian
dari warisan budaya dan ciri khas dari budaya masyarakat Manggarai Flores.
Tidak ada definisi yang baku atas istilah Belis yang ada di Manggarai. Belis
merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona (keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) berdasarkan atas
kesepakatan pada acara sebelumnya yang disebut pongo (Pahun, 2011). Pada acara pongo (kesepakatan belis), terjadi
proses tawar menawar yang begitu sengit antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dengan anak wina.
Keluarga mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus dibayar
kemudian ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar menawar
sebelum adanya keputusan final. Kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap
besaran belis merupakan langkah awal yang harus dilalui dalam sistem perkawinan
adat yang ada di Manggarai.
Menurut Pahun (2011), terdapat tiga
bentuk perkawinan adat yang ada di Manggarai, yaitu cangkang, cako, dan tungku. Perkawinan cangkang adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang
pemudi dari dua keluarga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah atau
hubungan perkawinan sebelumnya. Dalam bentuk perkawinan ini, besaran nominal
belis yang diminta pihak anak rona relatif tinggi dan tuntutan cara
pembayarannya juga begitu ketat. Jenis belis yang diminta pihak anak rona
kepada pihak anak wina adalah kerbau (kaba), kuda (jarang), babi (ela), kambing
(mbe), dan sarung adat (lipa songke) dalam jumlah tertentu sesuai status sosial
keluarga anak rona. Perkawinan cako
adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari satu
tali kekerabatan yang sama. Bentuk perkawinan ini hanya berlaku pada generasi
lapisan ketiga ke atas dan dianggap sebagai bentuk penyimpangan dalam
perspektif budaya Manggarai. Diidentifikasi sebagai sebuah dosa berat karena
tindakan itu bersifat antisosial yang menyebabkan ketidakselarasan hubungan
sosial kemasyarakatan dalam lingkup kehidupan satu wa’u (kekerabatan). Dalam
bentuk perkawinan ini, belis tidak terlalu dituntut karena dianggap sebagai
kecelakaan. Perkawinan tungku adalah
bentuk perkawinan seorang pemuda dari pihak keluarga saudara perempuan (weta)
dengan seorang pemudi dari pihak keluarga saudara laki-laki (nara). Bentuk
perkawinan ini bertujuan menyambung kembali hubungan keluarga antara saudara
perempuan dengan saudara laki-lakinya yang sudah terputus karena perkawinan
cangkang.
Pada awalnya tradisi belis merupakan
bentuk penghargaan keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan karena telah
menyerahkan anaknya untuk menjadi bagian yang sah dari keluarga besar
laki-laki. Semula, tradisi belis di Manggarai juga tidak menimbulkan
kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat karena merupakan nilai yang
berharga dalam sistem perkawinan adat Manggarai. Belis dimaknai sebagai tali
pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak anak rona dan anak wina. Saat
ini, nilai tersebut mengalami pergeseran karena masyarakat Manggarai lebih
mengedepankan nominal belis yang sangat tinggi sehingga tidak relevan dengan
kehidupan masyarakatnya yang terus dilanda kemiskinan. Besarnya nominal belis
juga ditentukan tingkat pendidikan wanita dan status sosial keluarganya di
tengah masyarakat (Pahun, 2011). Kecemasan dan keresahan masyarakat Manggarai
pun sudah jelas terlihat. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah adanya usaha
menghapus bentuk kebudayaan itu. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan karena
budaya Belis adalah salah satu warisan budaya leluhur yang perlu dijaga
nilainya oleh generasi muda. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara
masyarakat, terutama generasi muda untuk mengembalikan keaslian makna dari
Belis tersebut ditengah situasi masyarakat Manggarai yang telah terjebak dalam
paham feodalisme. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengumpulan data
secara wawancara mengenai pandangan generasi muda Manggarai mengenai kondisi
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan generasi muda Manggarai
terhadap kondisi budaya Belis yang mengalami pergeseran nilai dan lebih
mengedepankan nominal belis yang cukup besar.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data secara wawancara dan kajian pustaka. Teknik
wawancara berpedoman pada daftar pertanyaan seperti: pandangan mengenai budaya
belis, perkembangan budaya belis dan cara mengembalikan keaslian makna yang
terkandung pada budaya belis. Sebagai nara sumber atau sasaran penelitian
adalah generasi muda Manggarai yang merantau di Pulau Bali dengan 5 responden
yang berumur 20 – 25 tahun. Usia
tersebut dipilih karena generasi muda Manggarai biasanya menikah dengan kisaran
usia tersebut. Data hasil penelitian dianalisis secara langsung dari hasil
wawancara dengan mengacu pada kajian pustaka.
PEMBAHASAN
Dasar, tujuan
dan bentuk-bentuk perkawinan adat Manggarai
Dasar perkawinan adat Manggarai
adalah cinta laki-laki dan perempuan yang ingin dilembagakan dalam institusi
yang dinamakan keluarga. Tujuan perkawinan adat Manggarai, yaitu untuk mendapat
keturunan karena anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga, menambah
keeratan jalinan kekerabatan antar keluarga besar, dan untuk kebahagiaan pasangan yang menikah.
Sifat perkawinan tersebut menyatukan secara abadi (Roger, 2010). Dalam kaadatan
Manggarai terdapat tiga jenis perkawinan yakni perkawinan Cangkang atau perkawinan antar
klen atau suku, perkawinan Tungku
dan perkawinan Cako atau perkawinan dalam klen / intra-klen. Perkawinan
cangkang amat bersesuaian dengan tradisi Gereja yakni sustu perkawinan yang
bertujuan untuk membentuk kekerabatan baru sehingga terjadi keterjalinan
kekerabatan karena perkawinan dengan suku-suku lain. Sedangkan perkawinan
tungku bertujuan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang telah terjalin dalam
satu garis biologis agar tidak terputus. Untuk mengetahui suatu perkawinan
disebut tungku atau tidak maka diperlukan suatu penceritaan kembali suatu
genealogi keluarga yang disebut turuk
empo (Roger, 2010).
Tahap-tahap
Dalam Perkawinan Adat Manggarai Secara Umum
Menurut Dagur
(1997), terdapat empat tahap dalam perkawinan adat Manggarai secara umum,
yaitu:
Ø Cumang Cama Koe, artinya laki-laki dan perempuan
bertemu di mana sang pemuda membawa tanda cinta misalnya cincin, maka ada suatu
kejadian yang disebut tukar kila (tukar cincin). Pihak laki-laki (calon anak
wina) menemui pihak perempuan (calon anak rona) untuk mendapat pra-kesepakatan
mengenai pernikahan, belis, mas kawin (paca). Bila terjadi kesepakatan, maka
hubungan tersebut dibawa pada jenjang selanjutnya.
Ø Weda Rewa Tuke Mbaru. Proses ini
mencakup; pengikatan, masuk minta, masuk rumah keluarga perempuan membawa
sirih-pinang yang dalam bahasa adat disebuti “pongo’ atau “ba’cepa”. Tahap ini
lazim disebut “Tuke Mbaru”. Tahap ini menjadi momen peresmian pertunangan.
Dalam acara pongo kedua pihak mendelegasikan pembicaraan adat pada
seseorang yang disebut “Tongka” (jubir).
Juru bicara pihak wanita disebut “Tongka tiba” sedangkan juru bicara pihak
laki-laki disebut “Tongka tei”. Dalam proses inilah belis dan paca dibicarakan.
Jika terjadi kesepakatan, maka apa yang diminta pihak wanita akan dipenuhi
dalam proses selanjutnya.
Ø Uber / Pedeng Pante. Tahap ini
ditandai dengan pemberian belis sebagian kecil sesuai dengan kemampuan pihak
keluarga laki-laki. Uber ini juga disebut peresmian perkawinan adat karena
sebagian belis sudah dibayar. Filosofi dibalik belis adalah keluarga baru yang
akan dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti seperti mengalirnya
air dan bukan seperti jalannya air pada pohon enau yang “air”nya berhenti.
Maksudnya dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan
belisnya dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat.
Ø Upacara Podo. Upacara ini merupakan upacara
menghantar (podo) pengantin wanita ke rumah pengantin pria. Dengan
ini,pengantin wanita sudah menjadi anggota suku (wa’u) laki-laki dan harus
mengikuti tata hidup keluarga si pria (ceki). Dalam tahap ini juga pihak
perempuan memberi perlengkapan rumah tangga, misalnya kain adat, perlengkapan
tidur, barang-barang dapur. Sesi pamungkas dari “podo” adalah upacara “pentang
pitak”, yakni upacara pembebasan si istri dari segala keterikatannya dengan
keluarga asal. Ritual yang dijalankan adalah menginjak telur di depan rumah
adat (Gendang/tembong). Ini menjadi tanda inisiasi si wanita ke dalam tatanan
hidup si laki-laki.
Budaya
Belis Pada Masa Lalu
Belis merupakan seperangkat mas kawin
yang diberikan anak rona (keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina
(keluarga mempelai perempuan) yang biasanya berdasarkan atas kesepakatan pada
saat pongo (ikat) (Roger, 2010). Yang dimaksud seperangkat mas kawin disini
adalah uang dan hewan (kerbau dan kuda). Dalam bahasa adat perkawinan
Manggarai, uang biasa disebut dengan menggunakan term kiasan seperti ‘kala’
(daun sirih), ’one cikang’ (dalam saku), ‘one mabaru’ (dalam rumah). Sedangkan
untuk hewan disebut dengan menggunakan term kiasan seperti ‘peang tana’(di luar
rumah). Semua pembicaraan berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan
oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saat
pongo. Terjadi proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak
keluarga wanita dengan keluarga pihak laki-laki tentang jumlah belis pada saat
pongo tersebut. Keluarga mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus
ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar menawar sebelum adanya
keputusan final. Kalau belum ditemukan kesepakatan, maka acara tersebut ditunda
lagi. Semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan
bersama akan diserahkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Hal ini
menjadi inti atau puncak sebagai bukti tanggung jawab keluarga laki-laki dalam
melunasi belis kepada keluarga perempuan dan juga menjadi tolok ukur sampai
sejauh mana kesiapan, kemampuan keluarga mempelai laki-laki dalam urusan
perkawinan tersebut.
Menurut Roger (2010), pembayaran belis
dalam pernikahan adat Manggarai memiliki beberapa alasan, yaitu :
· Belis bukan
hanya suatu penetapan melainkan juga pengukuhan kehidupan suami istri.
· Relasi
perkawinan yang akan dibentuk bukan hanya sesuatu yang bersifat temporal saja
(untuk sementara waktu) tetapi juga berdampak pada suatu hubungan kekerabatan
yang berkelanjutan sampai pada generasi-generasi berikutnya.
Perkawinan adat Manggarai memiliki
nilai-nilai filosofis sebagai berikut: Pertama, perkawinan mengungkapkan
kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang lain dalam suatu ranah
kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang. Kedua, perkawinan bertujuan
agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan. Ketiga, perkawinan membuka sosialitas manusia
agar terhubung dengan orang lain dan kelompok lain sehingga terjalinlah suatu
kekeluargaan dan persaudaraan. Keempat, perkawinan merupakan ruang pembentukan
keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transmisi nilai budaya dan moral,
seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Kelima, perkawinan menjadikan kebebasan
manusia terlembaga dalam suatu tatanan moral dan etika, seperti menghargai
perempuan yang sudah bersuami.
Dengan demikian, tradisi belis (mas
kawin) pada masa lalu di Manggarai tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam
dari sebagian masyarakat. Belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam
sistem perkawinan adat Manggarai, dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan
dan kekeluargaan antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga wanita.
Budaya
Belis Pada Masa Kini
Pada masa kini, nilai yang terkandung
pada budaya belis mengalami pergeseran dari makna aslinya. Hal ini tentunya
menimbulkan kecemasan, dan keresahan masyarakat Manggarai yang terus dilanda
kemiskinan. Diskusi-diskusi yang produktif pun semakin hangat terjadi dan
semuanya itu merupakan usaha manusia untuk mengembalikan keaslian makna dari
nilai belis tersebut (Lembunai, 2008). Meskipun sudah ditentukan oleh adat
namun sering terjadi perubahan pada nilai belis tersebut. Perubahan itu berupa
menaikkan jumlah uang yang nominalnya sangat besar dan barang yang akan
diserahkan. Tak jarang pembicaraan antardua keluarga menjadi gelanggang adu
pendapat dan menjaga harga diri agar tidak terinjak-injak (Barus, 2009).
Berdasarkan kenyataan tersebut, sebagian
masyarakat Manggarai sudah meninggalkan budaya belis karena melihat belis
seperti ‘membeli’ seorang gadis, dan setelah itu gadis yang ‘dibeli’ bebas
diapakan saja atau dijadikan budak (Lembunai, 2008). Dalam hal ini, yang
diutamakan adalah nominal belisnya baik berupa uang maupun hewan dengan mengesampingkan
harkat dan martabat kaum wanita. Dalam perkembangan zaman, besarnya belis
kemudian bergantung pada tingkat pendidikan yang dicapai oleh si anak (anak
wanita). Makin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai maka semakin besar
nominal belisnya, sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai
maka semakin rendah pula nilai belisnya (Barus, 2009). Kasus ini sudah sangat
jelas melecehkan martabat luhur manusia yang diciptakan sama dan sejajar tanpa
dibedakan oleh status apapun. Dengan perbedaan penentuan besarnya nominal belis
antara orang yang berpendidikan tinggi dengan berpendidikan rendah, secara
implisit telah membedakan martabat manusia satu dengan yang lain.
Peran generasi muda sebagai pewaris
budaya leluhur sangat dibutuhkan dalam hal ini. Terutama mempertahankan budaya
belis dan mengembalikan keaslian makna dari belis itu sendiri. Pada
kenyataannya, banyak generasi muda Manggarai yang belum mengetahui makna dari
belis sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang menakutkan dan menjadi penghalang
baginya untuk dapat berumah tangga. Menurut pendapat dari beberapa generasi
muda yang merantau di Pulau Bali, cara mengembalikan keaslian makna dari budaya
belis itu sendiri adalah mengajarkan nilai-nilai yang terkandung pada budaya
belis dengan memasukkannya pada kurikulum sekolah mulai tingkat SD – SMA, melakukan
penyuluhan melalui perantara tetua adat sehingga masyarakat sadar akan keadaan
mereka sendiri dan lebih menghargai kaum wanita sebagai manusia bukan benda
yang bisa diperjualbelikan melalui proses tawar menawar yang alot.
Dengan kesadaran dari generasi muda
dalam mempelajari budaya belis terutama makna yang terkandung didalamnya,
budaya tersebut akan tetap bertahan. Yang
lebih dikedepankan adalah nilai yang terkandung pada budaya belis itu sendiri sehingga dengan
terciptanya keakraban dan rasa kekeluargaan, maka nominal belis bisa
diminimalisir dengan tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar.
KESIMPULAN
Belis merupakan seperangkat mas
kawin sebagai bentuk penghargaan yang diberikan keluarga mempelai laki-laki
kepada keluarga mempelai perempuan. Pada masa lalu, budaya belis dianggap
sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan adat Manggarai. Dimaknai
sebagai pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara keluarga mempelai
laki-laki dengan keluarga mempelai wanita. Pada masa kini, penerapan budaya
belis telah mengalami perubahan. Makna yang terkandung terus mengalami
pergeseran karena yang lebih dikedepankan adalah nominal mas kawin berupa uang
yang sangat besar nilainya dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tingkat pendidikan wanita dan status sosial keluarganya juga mempengaruhi
nominal belis yang harus dibayar nantinya.
Peran generasi muda Manggarai dalam
mengembalikan dan mempertahankan keaslian makna dari budaya belis sangat
dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan nilai-nilai yang
terkandung pada budaya belis secara khusus dan kebudayaan Manggarai secara umum
mulai tingkat SD – SMA, melakukan penyuluhan melalui perantara tetua adat
sehingga masyarakat sadar akan keadaan mereka yang terus dilanda kemiskinan
serta lebih menghargai kaum wanita sebagai manusia bukan benda atau barang yang
bisa diperjualbelikan melalui proses tawar menawar yang alot.
Dengan
demikian, tindakan menghapus budaya belis bukanlah solusi yang tepat. Yang
paling utama adalah mempertahankan budaya tersebut serta melestarikannya
melalui peran generasi muda Manggarai sebagai pewaris budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, J.J., (2009). Trafficking Dalam Budaya Manggarai. www.
Rebamanggarai.blogspot.com/2009/10/belis.html. Diakses 03/04/2012
Dagur, A.B., (1997). Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu
Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press
Lembunai, (2008). Budaya Flores Manggarai. www.
Jeabel.blogspot.com/2008/01/budaya-Flores-Manggarai. Diakses 05/04/2012
Pahun, C., (2011). Menggugat Belis Di Manggarai Raya. www.
Jeabel.blogspot.com/2008/01/budaya-Flores-Manggarai. Diakses 05/04/2012
Roger, R., (2011). Sistem Perkawinan Adat Manggarai:Menelisik Makna Belis. www.
Wordpress.com/tag/budaya-perkawinan-Manggarai. Diakses 03/04 /2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar