Selasa, 24 Juli 2012


PERKEMBANGAN BUDAYA BELIS DALAM SISTEM PERKAWINAN ADAT MANGGARAI

Oktavianus Ardis

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar



ABSTRACT

Belis culture is one part of the cultural heritage in Manggarai Kingdom. Belis original tradition (dowry) in Manggarai not cause deep anxiety of the population. Belis regarded as a precious value in Manggarai traditional marriage system. Belis interpreted as binding of brotherhood and kinship between the families of women with a family man. At present, the significance embodied in the culture shift belis because only nominal belisnya forward regardless of the value contained therein. This is certainly cause anxiety and unrest in the middle of a situation that continues to Manggarai society plagued by poverty. This study aims to determine the response Manggarai youth who wander on the island of Bali for which culture conditions belis shifting values​​. Data collection methods used in this study is based on interviews with several questions. Respondents who used amounted to 5 people ranging in age from 20-25 years.


Key word: belis culture, meaning belis, the response of the younger generation  Manggarai



PENDAHULUAN

Secara praktis, kebudayaan dapat dimengerti sebagai kumpulan dan pemaknaan atas nilai-nilai. Sebagai kumpulan nilai-nilai, kebudayaan berkarakter pencarian menjadi titik akhir pencarian manusia akan sesuatu yang dianggap bermakna bagi hidup. Dan pada dasarnya setiap manusia memiliki motif tunggal dalam pengembaraan hidup yaitu mengejar aneka nilai. Nilai yang dikejar adalah nilai baik dan menjadi keutamaan sehingga wajib terpenuhi. Pengejaran itu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi selalu bersama orang lain. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial daripada individual sehingga masyarakat dipahami sebagai kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungan dengan golongannya (Dagur, 1997).

Budaya belis adalah salah satu bagian dari warisan budaya dan ciri khas dari budaya masyarakat Manggarai Flores. Tidak ada definisi yang baku atas istilah Belis yang ada di Manggarai. Belis merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona (keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) berdasarkan atas kesepakatan pada acara sebelumnya yang disebut pongo (Pahun, 2011). Pada acara pongo (kesepakatan belis), terjadi proses tawar menawar yang begitu sengit antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dengan anak wina. Keluarga mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus dibayar kemudian ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar menawar sebelum adanya keputusan final. Kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap besaran belis merupakan langkah awal yang harus dilalui dalam sistem perkawinan adat yang ada di Manggarai.

Menurut Pahun (2011), terdapat tiga bentuk perkawinan adat yang ada di Manggarai, yaitu cangkang, cako, dan tungku. Perkawinan cangkang adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari dua keluarga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan sebelumnya. Dalam bentuk perkawinan ini, besaran nominal belis yang diminta pihak anak rona relatif tinggi dan tuntutan cara pembayarannya juga begitu ketat. Jenis belis yang diminta pihak anak rona kepada pihak anak wina adalah kerbau (kaba), kuda (jarang), babi (ela), kambing (mbe), dan sarung adat (lipa songke) dalam jumlah tertentu sesuai status sosial keluarga anak rona. Perkawinan cako adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari satu tali kekerabatan yang sama. Bentuk perkawinan ini hanya berlaku pada generasi lapisan ketiga ke atas dan dianggap sebagai bentuk penyimpangan dalam perspektif budaya Manggarai. Diidentifikasi sebagai sebuah dosa berat karena tindakan itu bersifat antisosial yang menyebabkan ketidakselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dalam lingkup kehidupan satu wa’u (kekerabatan). Dalam bentuk perkawinan ini, belis tidak terlalu dituntut karena dianggap sebagai kecelakaan. Perkawinan tungku adalah bentuk perkawinan seorang pemuda dari pihak keluarga saudara perempuan (weta) dengan seorang pemudi dari pihak keluarga saudara laki-laki (nara). Bentuk perkawinan ini bertujuan menyambung kembali hubungan keluarga antara saudara perempuan dengan saudara laki-lakinya yang sudah terputus karena perkawinan cangkang.

Pada awalnya tradisi belis merupakan bentuk penghargaan keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan karena telah menyerahkan anaknya untuk menjadi bagian yang sah dari keluarga besar laki-laki. Semula, tradisi belis di Manggarai juga tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat karena merupakan nilai yang berharga dalam sistem perkawinan adat Manggarai. Belis dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak anak rona dan anak wina. Saat ini, nilai tersebut mengalami pergeseran karena masyarakat Manggarai lebih mengedepankan nominal belis yang sangat tinggi sehingga tidak relevan dengan kehidupan masyarakatnya yang terus dilanda kemiskinan. Besarnya nominal belis juga ditentukan tingkat pendidikan wanita dan status sosial keluarganya di tengah masyarakat (Pahun, 2011). Kecemasan dan keresahan masyarakat Manggarai pun sudah jelas terlihat. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah adanya usaha menghapus bentuk kebudayaan itu. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan karena budaya Belis adalah salah satu warisan budaya leluhur yang perlu dijaga nilainya oleh generasi muda. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara masyarakat, terutama generasi muda untuk mengembalikan keaslian makna dari Belis tersebut ditengah situasi masyarakat Manggarai yang telah terjebak dalam paham feodalisme. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengumpulan data secara wawancara mengenai pandangan generasi muda Manggarai mengenai kondisi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan generasi muda Manggarai terhadap kondisi budaya Belis yang mengalami pergeseran nilai dan lebih mengedepankan nominal belis yang cukup besar.

METODE PENELITIAN

            Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara wawancara dan kajian pustaka. Teknik wawancara berpedoman pada daftar pertanyaan seperti: pandangan mengenai budaya belis, perkembangan budaya belis dan cara mengembalikan keaslian makna yang terkandung pada budaya belis. Sebagai nara sumber atau sasaran penelitian adalah generasi muda Manggarai yang merantau di Pulau Bali dengan 5 responden yang berumur 20 – 25 tahun.  Usia tersebut dipilih karena generasi muda Manggarai biasanya menikah dengan kisaran usia tersebut. Data hasil penelitian dianalisis secara langsung dari hasil wawancara dengan mengacu pada kajian pustaka.

PEMBAHASAN

Dasar, tujuan dan bentuk-bentuk perkawinan adat Manggarai

            Dasar perkawinan adat Manggarai adalah cinta laki-laki dan perempuan yang ingin dilembagakan dalam institusi yang dinamakan keluarga. Tujuan perkawinan adat Manggarai, yaitu untuk mendapat keturunan karena anak dilihat sebagai pelanjut subsistensi keluarga, menambah keeratan jalinan kekerabatan antar keluarga besar,  dan untuk kebahagiaan pasangan yang menikah. Sifat perkawinan tersebut menyatukan secara abadi (Roger, 2010). Dalam kaadatan Manggarai terdapat tiga jenis perkawinan yakni perkawinan Cangkang atau perkawinan antar klen atau suku, perkawinan Tungku dan perkawinan Cako atau perkawinan dalam klen / intra-klen. Perkawinan cangkang amat bersesuaian dengan tradisi Gereja yakni sustu perkawinan yang bertujuan untuk membentuk kekerabatan baru sehingga terjadi keterjalinan kekerabatan karena perkawinan dengan suku-suku lain. Sedangkan perkawinan tungku bertujuan untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang telah terjalin dalam satu garis biologis agar tidak terputus. Untuk mengetahui suatu perkawinan disebut tungku atau tidak maka diperlukan suatu penceritaan kembali suatu genealogi keluarga yang disebut turuk empo (Roger, 2010).

Tahap-tahap Dalam Perkawinan Adat Manggarai Secara Umum
Menurut Dagur (1997), terdapat empat tahap dalam perkawinan adat Manggarai secara umum, yaitu:
Ø Cumang Cama Koe, artinya laki-laki dan perempuan bertemu di mana sang pemuda membawa tanda cinta misalnya cincin, maka ada suatu kejadian yang disebut tukar kila (tukar cincin). Pihak laki-laki (calon anak wina) menemui pihak perempuan (calon anak rona) untuk mendapat pra-kesepakatan mengenai pernikahan, belis, mas kawin (paca). Bila terjadi kesepakatan, maka hubungan tersebut dibawa pada jenjang selanjutnya.
Ø Weda Rewa Tuke Mbaru. Proses ini mencakup; pengikatan, masuk minta, masuk rumah keluarga perempuan membawa sirih-pinang yang dalam bahasa adat disebuti “pongo’ atau “ba’cepa”. Tahap ini lazim disebut “Tuke Mbaru”. Tahap ini menjadi momen peresmian pertunangan. Dalam acara pongo kedua pihak mendelegasikan pembicaraan adat pada seseorang  yang disebut “Tongka” (jubir). Juru bicara pihak wanita disebut “Tongka tiba” sedangkan juru bicara pihak laki-laki disebut “Tongka tei”. Dalam proses inilah belis dan paca dibicarakan. Jika terjadi kesepakatan, maka apa yang diminta pihak wanita akan dipenuhi dalam proses selanjutnya.
Ø Uber / Pedeng Pante. Tahap ini ditandai dengan pemberian belis sebagian kecil sesuai dengan kemampuan pihak keluarga laki-laki. Uber ini juga disebut peresmian perkawinan adat karena sebagian belis sudah dibayar. Filosofi dibalik belis adalah keluarga baru yang akan dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti seperti mengalirnya air dan bukan seperti jalannya air pada pohon enau yang “air”nya berhenti. Maksudnya dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan belisnya dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat.
Ø Upacara Podo. Upacara ini merupakan upacara menghantar (podo) pengantin wanita ke rumah pengantin pria. Dengan ini,pengantin wanita sudah menjadi anggota suku (wa’u) laki-laki dan harus mengikuti tata hidup keluarga si pria (ceki). Dalam tahap ini juga pihak perempuan memberi perlengkapan rumah tangga, misalnya kain adat, perlengkapan tidur, barang-barang dapur. Sesi pamungkas dari “podo” adalah upacara “pentang pitak”, yakni upacara pembebasan si istri dari segala keterikatannya dengan keluarga asal. Ritual yang dijalankan adalah menginjak telur di depan rumah adat (Gendang/tembong). Ini menjadi tanda inisiasi si wanita ke dalam tatanan hidup si laki-laki.



Budaya Belis Pada Masa Lalu
Belis merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan anak rona (keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan) yang biasanya berdasarkan atas kesepakatan pada saat pongo (ikat) (Roger, 2010). Yang dimaksud seperangkat mas kawin disini adalah uang dan hewan (kerbau dan kuda). Dalam bahasa adat perkawinan Manggarai, uang biasa disebut dengan menggunakan term kiasan seperti ‘kala’ (daun sirih), ’one cikang’ (dalam saku), ‘one mabaru’ (dalam rumah). Sedangkan untuk hewan disebut dengan menggunakan term kiasan seperti ‘peang tana’(di luar rumah). Semua pembicaraan berkaitan dengan jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan dibicarakan pada saat pongo. Terjadi proses tawar menawar antara tongka (juru bicara) dari pihak keluarga wanita dengan keluarga pihak laki-laki tentang jumlah belis pada saat pongo tersebut. Keluarga mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar menawar sebelum adanya keputusan final. Kalau belum ditemukan kesepakatan, maka acara tersebut ditunda lagi. Semua hal menyangkut mas kawin yang telah dibicarakan dan diputuskan bersama akan diserahkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Hal ini menjadi inti atau puncak sebagai bukti tanggung jawab keluarga laki-laki dalam melunasi belis kepada keluarga perempuan dan juga menjadi tolok ukur sampai sejauh mana kesiapan, kemampuan keluarga mempelai laki-laki dalam urusan perkawinan tersebut.

Menurut Roger (2010), pembayaran belis dalam pernikahan adat Manggarai memiliki beberapa alasan, yaitu :
·      Belis bukan hanya suatu penetapan melainkan juga pengukuhan kehidupan suami istri.
·      Relasi perkawinan yang akan dibentuk bukan hanya sesuatu yang bersifat temporal saja (untuk sementara waktu) tetapi juga berdampak pada suatu hubungan kekerabatan yang berkelanjutan sampai pada generasi-generasi berikutnya.
Perkawinan adat Manggarai memiliki nilai-nilai filosofis sebagai berikut: Pertama, perkawinan mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang. Kedua, perkawinan bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan.  Ketiga, perkawinan membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain dan kelompok lain sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan. Keempat, perkawinan merupakan ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transmisi nilai budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Kelima, perkawinan menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam suatu tatanan moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Dengan demikian, tradisi belis (mas kawin) pada masa lalu di Manggarai tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat. Belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan adat Manggarai, dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga wanita.

Budaya Belis Pada Masa Kini
Pada masa kini, nilai yang terkandung pada budaya belis mengalami pergeseran dari makna aslinya. Hal ini tentunya menimbulkan kecemasan, dan keresahan masyarakat Manggarai yang terus dilanda kemiskinan. Diskusi-diskusi yang produktif pun semakin hangat terjadi dan semuanya itu merupakan usaha manusia untuk mengembalikan keaslian makna dari nilai belis tersebut (Lembunai, 2008). Meskipun sudah ditentukan oleh adat namun sering terjadi perubahan pada nilai belis tersebut. Perubahan itu berupa menaikkan jumlah uang yang nominalnya sangat besar dan barang yang akan diserahkan. Tak jarang pembicaraan antardua keluarga menjadi gelanggang adu pendapat dan menjaga harga diri agar tidak terinjak-injak (Barus, 2009).
Berdasarkan kenyataan tersebut, sebagian masyarakat Manggarai sudah meninggalkan budaya belis karena melihat belis seperti ‘membeli’ seorang gadis, dan setelah itu gadis yang ‘dibeli’ bebas diapakan saja atau dijadikan budak (Lembunai, 2008). Dalam hal ini, yang diutamakan adalah nominal belisnya baik berupa uang maupun hewan dengan mengesampingkan harkat dan martabat kaum wanita. Dalam perkembangan zaman, besarnya belis kemudian bergantung pada tingkat pendidikan yang dicapai oleh si anak (anak wanita). Makin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai maka semakin besar nominal belisnya, sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai maka semakin rendah pula nilai belisnya (Barus, 2009). Kasus ini sudah sangat jelas melecehkan martabat luhur manusia yang diciptakan sama dan sejajar tanpa dibedakan oleh status apapun. Dengan perbedaan penentuan besarnya nominal belis antara orang yang berpendidikan tinggi dengan berpendidikan rendah, secara implisit telah membedakan martabat manusia satu dengan yang lain.
Peran generasi muda sebagai pewaris budaya leluhur sangat dibutuhkan dalam hal ini. Terutama mempertahankan budaya belis dan mengembalikan keaslian makna dari belis itu sendiri. Pada kenyataannya, banyak generasi muda Manggarai yang belum mengetahui makna dari belis sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang menakutkan dan menjadi penghalang baginya untuk dapat berumah tangga. Menurut pendapat dari beberapa generasi muda yang merantau di Pulau Bali, cara mengembalikan keaslian makna dari budaya belis itu sendiri adalah mengajarkan nilai-nilai yang terkandung pada budaya belis dengan memasukkannya pada kurikulum sekolah mulai tingkat SD – SMA, melakukan penyuluhan melalui perantara tetua adat sehingga masyarakat sadar akan keadaan mereka sendiri dan lebih menghargai kaum wanita sebagai manusia bukan benda yang bisa diperjualbelikan melalui proses tawar menawar yang alot.
Dengan kesadaran dari generasi muda dalam mempelajari budaya belis terutama makna yang terkandung didalamnya, budaya tersebut akan tetap bertahan. Yang  lebih dikedepankan adalah nilai yang terkandung  pada budaya belis itu sendiri sehingga dengan terciptanya keakraban dan rasa kekeluargaan, maka nominal belis bisa diminimalisir dengan tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar.

KESIMPULAN
            Belis merupakan seperangkat mas kawin sebagai bentuk penghargaan yang diberikan keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan. Pada masa lalu, budaya belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan adat Manggarai. Dimaknai sebagai pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara keluarga mempelai laki-laki dengan keluarga mempelai wanita. Pada masa kini, penerapan budaya belis telah mengalami perubahan. Makna yang terkandung terus mengalami pergeseran karena yang lebih dikedepankan adalah nominal mas kawin berupa uang yang sangat besar nilainya dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tingkat pendidikan wanita dan status sosial keluarganya juga mempengaruhi nominal belis yang harus dibayar nantinya.
Peran generasi muda Manggarai dalam mengembalikan dan mempertahankan keaslian makna dari budaya belis sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan nilai-nilai yang terkandung pada budaya belis secara khusus dan kebudayaan Manggarai secara umum mulai tingkat SD – SMA, melakukan penyuluhan melalui perantara tetua adat sehingga masyarakat sadar akan keadaan mereka yang terus dilanda kemiskinan serta lebih menghargai kaum wanita sebagai manusia bukan benda atau barang yang bisa diperjualbelikan melalui proses tawar menawar yang alot.
Dengan demikian, tindakan menghapus budaya belis bukanlah solusi yang tepat. Yang paling utama adalah mempertahankan budaya tersebut serta melestarikannya melalui peran generasi muda Manggarai sebagai pewaris budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Barus, J.J., (2009). Trafficking Dalam Budaya Manggarai. www. Rebamanggarai.blogspot.com/2009/10/belis.html. Diakses 03/04/2012
Dagur, A.B., (1997). Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhara Press
Lembunai, (2008). Budaya Flores Manggarai. www. Jeabel.blogspot.com/2008/01/budaya-Flores-Manggarai. Diakses 05/04/2012
Pahun, C., (2011). Menggugat Belis Di Manggarai Raya. www. Jeabel.blogspot.com/2008/01/budaya-Flores-Manggarai. Diakses 05/04/2012
Roger, R., (2011). Sistem Perkawinan Adat Manggarai:Menelisik Makna Belis. www. Wordpress.com/tag/budaya-perkawinan-Manggarai. Diakses 03/04  /2012



                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar