Minggu, 12 Juni 2011

ZONASI MANGGROVE

KOMPOSISI JENIS DAN ZONASI MANGROVE

Kemampuan adaptasi dari tiap jenis terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut. Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan lainnya.
Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok, yaitu:
  1. Kelompok utama, terdiri dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.
  2. Kelompok tambahan, meliputi Excoecaria agallocha, Aegiceras sp., Lumnitzera, dan lainnya.
Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut.
Pembagian zonasi kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan salinitas meliputi :
1.   Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2.   Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3.   Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia populnea.

Hutan mangrove juga dapat dibagi  menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1.      Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
2.       Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3.       Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
4.        Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
                       
Contoh Zonasi Mangrove

REFERENSI
ALIKODRA, H. S. 1999. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove dilihat dari Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar VI Ekosisitem Hutan Mangrove : 33-44.
BENGEN, D. G. 2004. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
NONTJI, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta : 105 – 114.
PRAMUDJI, 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan, Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana XXV (1) : 13 – 20.
PRAMUDJI. 2004. Mangrove di Pesisir Delta Mahakam Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : 3 – 7.
PRAMUDJI & L. H. Purnomo. 2003. Mangrove Sebagai Tanaman Penghijauan Pantai. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : 1 – 6.

Batasan Wilayah Pesisir dan Laut

Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.
Hal di atas menunjukkan bahwa tidak ada garis batas yang nyata, sehingga batas wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh situasi dan kondisi setempat. Misalnya di delta Sungai Mahakam (Kalimantan Timur) dan Sungai Musi (Sumatera Selatan), garis batas pesisir dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit.
Komponen fisik ekosistem pesisir dan laut.
Ekosistem pesisir baik mangrove, lamun maupun terumbu karang sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen fisik yang ada di sekitarnya. Komponen tersebut meliputi kimia air (termasuk susunan zat-zat kimia dan kecenderungannya di laut), aliran dan pergerakan arus, interaksi antara atmosfer dan samudra, serta proses-proses alam yang terjadi di laut. Komponen ini berperan sebagai media transport materi dan energi segaligus mendukung komponen biotik yang ada. Komponen fisik lainnya antara lain:
  1. Strukktur air
  2. Komposisi kimia air laut
  3. Gas-gas terlarut
  4. Berat jenis (densitas)
  5. Suhu dan salinitas air laut
  6. Cahaya
  7. Gelombang
  8. Arus Laut
Komponen biotik ekosistem pesisir dan laut
Biota yang hidup di wilayah pesisir dan laut pada umumnya dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu plankton, nekton, dan bentos.
1. Plankton
Plankton adalah tumbuhan (fitoplankton) atau hewan (zooplankton) yang mengapung atau berenang secara berlahan di laut dan pergerakannya sangat tergantung pada arus. Pada umumnya tergolong mikroskopik, seperti hewan-hewan bersel satu yang melayang bebas di laut, tetapi banyak juga organisme seperti ubur-ubur (jellyfish) yang termasuk dalam kategori ini.
2. Nekton
Biota yang termasuk kategori ini adalah ikan yang dapat bergerak bebas tidak tergantung pada arus. Distribusi dari plakton dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, suplai oksigen dan sumber makanan.
3. Bentos
Organisme yang hidup di dasar perairan atau pada substrat, baik tumbuhan maupun hewan. Komposisi sedimen dasar perairan akan mempengaruhi jenis dan tipe organisme yang ada.
Ekosistem spesifik di wilayah pesisir dan laut
Wilayah pesisir dan laut secara ekologi merupakan tempat hidup beberapa ekosistem yang unik dan saling berhubungan, dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang umumnya terdapat di wilayah pesisir meliputi:
  1. Ekosistem mangrove
  2. Ekosistem lamun
  3. Ekosistem terumbu karang
Ekosistem ini saling berinteraksi membentuk suatu konektivitas dengan menjalankan fungsinya masing-masing. Penjelasan mengenai ketiga ekosistem ini akan menjadi pembahasan lebih lanjut, dimana ekosistem mangrove telah dijelaskan sebagian dalam tulisan sebelumnya (Mengenal Ekosistem Mangrove). Ekosistem lamun dan terumbu karang akan menjadi pembahasan di waktu yang akan datang.
Sumber Bacaan:
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. PT. Pradnya Paramita, Jakarta: 332 hal.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan, Jakarta: 367 hal.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 428 hal.
Mengenal Ekosistem Mangrove

Indonesia sebagai Negara maritim memiliki garis pantai yang panjang yakni sekitar 81.000 km. Di daerah pantai dan pesisir tesebut terdapat berbagai macam vegetasi, salah satunya adalah mangrove. Namun tidak semua pesisir terdapat ekosisten mangrove.
Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan lautan. Mangrove umumnya tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai yang datar. Biasanya pada daerah yang mempunyai muara sungai besar dan delta dengan aliran airnya banyak mengandung Lumpur dan pasir. Sebaliknya mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan bergelombang besar dengan arus pasang surut yang kuat karena pada daerah tersebut tidak memungkinkan adanya endapan Lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya.
Luas ekosistem hutan mangrove di dunia diperkirakan saat ini kurang lebih 15,9 juta hektar, dan diperkirakan 27% dari luas tersebut atau sekitar 4,29 juta hektar terdapat di kawasan pesisir Indonesia. Keberadaan hutan mangrove ini sangat penting sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara rasional.
Pengertian Mangrove
Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis ”mangue” dan bahasa Inggris ”grove”. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove baik dipergunakan untuk komunitas pohon-pohonan, rumput-rumputan, maupun semak belukar yang tumbuh di tepi laut. Kemudian kata mangrove dalam bahasa Portugis dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan, dan mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut.
Hutan mangrove adalah hutan yang berkembang baik di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya selalu dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai. Definisi lain hutan mangrove adalah suatu kelompok tumbuhan terdiri atas berbagai macam jenis dari suku yang berbeda, namun memiliki daya adaptasi morfologi dan fisiologis yang sama terhadap habitat yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut.
Secara umum mangrove adalah vegetasi yang terdiri atas pohon atau perdu yang tumbuh di daerah pantai di antara batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan di atas rata-rata permukaan air laut. Mangrove dapat tumbuh di daerah tropis dan memiliki pantai terlindung, di muara sungai, di sepanjang pantai berpasir atau berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir dan berlumpur. Keberadaannya juga berkaitan dengan ekosistem lainnya antara lain padang lamun dan terumbu karang.
Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang mempunyai ciri-ciri antara lain; tidak terpengaruh iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenangi air laut, tanah lumpur atau pasir terutama tanah liat,hutan tidak memiliki strata tajuk. Jenis pohon mulai dari darat ke laut meliputi Rhizopora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera dan lainnya. Tumbuhan bawah seperti Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius dan A. ebracteaus.
Faktor Yang Mempengaruhi Ekosistem Mangrove
Setiap tipe vegetasi mangrove yang terbentuk barkaitan erat dengan faktor habitatnya antara lain kondisi tanah, topografi, iklim, pasang surut dan salinitas air. Sehingga setiap daerah vegetasi mangrove umumnya membentuk suatu karakteristik yang berbeda-beda pada setiap habitatnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove antara lain:
1. Tanah dan struktur topografi.
Karakteristik tanah mangrove dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu halic hydraquent dan halic sulfaquent. Sedangkan keadaan tekstur tanah secara umum sangat halus dengan kadar partikel-partikel koloid yang tinggi.
Kesuburan tanah mangrove tergantung dari endapan yang di bawa oleh air sungai, yang umumnya kaya akan bahan organik dan mempunyai nilai nitrogen tinggi. Kehadiran bahan-bahan organik yang dibawa air sungai tersebut sangat menentukan tekstur tanah pada tempat di mana bahan-bahan tersebut diendapkan. Perubahan tekstur yang cepat dan tiba-tiba menyebabkan terganggunya vegetasi yang ada di tempat tersebut.
Topografi tanah pada komunitas mangrove pada umumnya landai atau bergelombang dengan tanahnya yang bertekstur liat, liat berdebu dan lempung. Topografi hutan mangrove mempengaruhi intensitas dan seringnya penggenangan yang mengakibatkan perbedaan kadar garam dalam tanah.
2. Iklim
Mangrove dapat tumbuh pada iklim tropika lembab dan panas tanpa pembagian musim tertentu, dengan curah hujan rata-rata per tahunnya berkisar antara 225-300 mm dan temperatur rata-rata maximal 32o C pada siang hari dan minimal 23o C pada malam hari.
Hutan mangrove di Indonesia sebagian besar terdapat di kawasan dengan curah hujan bulanan maupun tahunan yang tinggi. Namun tidak berarti bahwa mangrove tidak dapat berkembang di kawasan beriklim kering. Mangrove terdapat pula di kawasan beriklim kering seperti di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur tetapi dalam area yang lebih kecil, dan bukan hanya disebabkan oleh iklim saja melainkan oleh kondisi pantai dan tidak adanya sungai besar seperti di Sumatra, Kalimantan dan Papua.
3. Sedimentasi
Sediman sering diistilahkan sebagai material yang terkonsentrasi di dalam suatu massa iar, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Faktor yang mempengaruhi terjadinya sedimentasi di muara sungai antara lain; topografi daerah aliran sungai, iklim, jenis dan tekstur tanah, morfometrik sungai, sistem hidrologi serta energi pasang surut di muara sungai.
Ekosistem mangrove dapat terganggu oleh adanya endapan atau sedimentasi yang terbawa oleh sungai. Sedimentasi mengakibatkan permukaan tanah menjadi lebih tinggi dan membawa perubahan terhadap berkurangnya pengaruh pasang surut air laut serta menurunnya kadar garam dalam tanah. Akibat lebih lanjut adalah berkembangnya jenis lain yang menggantikan permudaan jenis mangrove. Sedimentasi akan terjadi lebih berat lagi apabila dalam penggunaan lahan di daerah aliran sungai yang bersangkutan kurang memperhatikan aspek koservasi tanah

4. Pasang Surut
Pasang surut merupakan fenomena fisika laut berupa naik turunnya air laut sabagai akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa air di bumi. Selain itu pasang surut di suatu tempat dipengaruhi pula oleh rotasi bumi serta posisi geografisnya.
Pasang surut mempunyai peranan baik itu secara langsung (misalnya gerakan air, tinggi dan frekuensi) maupun peranan tidak langsung (meliputi salinitas, sedimentasi dan erosi) terhadap perkembangan hutan mangrove maupun lingkungan di sekitarnya. Gerakan pasang surut air laut juga mempunyai peranan terhadap penyebaran biji, daya tumbuh biji, namun kurang berperan terhadap kehidupan pohon yang sudah dewasa.
Mangrove akan melakukan adaptasi terhadap adanya pasang surut dengan mengembanngkan akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Selain untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sediman.
5. Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor yanga mempengaruhi adanya zonasi pada hutan mangrove. Faktor ini erat kaitannya dengan pasang surut yang terjadi dalam satu hari dan dipengaruhi pula oleh musim dalam setahun. Mangrove beradaptasi di lingkungan berkadar salinitas tinggi antara lain dengan memiliki sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam,berdaun tebal dan kuat yang mengandung banyak air untuk mengatur keseimbangan kadar garam, kamudian pada daun terdapat serta struktur stomata khusus yang dapat membantu mengurangi penguapan, misalnya dapat dijumpai pada Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp., Sonneratia sp., dan Avicennia sp.
Sebenarnya masih banyak faktor-faktor lain yang perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan keberadaan mangrove, termasuk ulah manusia yang kadang bahkan sering menyebabkan terganggunya kestabilan ekosistem mangrove. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih mendalam lagi di kemudian hari.

REFERENSI
ALIKODRA, H. S. 1999. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove dilihat dari Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar VI Ekosisitem Hutan Mangrove : 33-44.
BENGEN, D. G. 2004. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta : 105 – 114.
PRAMUDJI, 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan, Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana XXV (1) : 13 – 20.
PRAMUDJI. 2004. Mangrove di Pesisir Delta Mahakam Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : 3 – 7.
PRAMUDJI & L. H. Purnomo. 2003. Mangrove Sebagai Tanaman Penghijauan Pantai. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : 1 – 6.
CONUS – CONOTOXIN

Sejak dari dulu moluska jenis Conus telah dikoleksi karena keunikan dan keindahan cangkangnya. Namun beberapa dekade terakhir ini Conus menjadi suatu objek penelitian yang menarik, juga karena keistimewaan yang ada padanya. Keistimewaan itu adalah adanya racun yang disebut conotoxin, yang memiliki efek mematikan terhadap biota lain termasuk manusia.
Conus adalah moluska laut (marine mollusc) termasuk kelas gastropoda anggota famili Conidae yang dapat ditemukan di pasir dan batuan karang di laut. Gastropoda famili Conidae diperkirakan berjumlah sebanyak 500 jenis tersebar di beberapa bagian dunia. Conidae dapat ditemukan di wilayah temperate dan subtropis namun area persebaran utamanya adalah daerah Indo-Pasifik meliputi perairan Tropis, lautan Hindia, lautan Pasifik, dan wilayah Australia.
Conus dalam klasifikasi moluska termasuk kelas gastropoda, subclass Prosobranchia, ordo Neogastropoda, dan superfamili Conoidea yang terbagi menjadi Turridae, Terebridae, dan Conidae. Contoh klasifikasi conus adalah sebagai berikut, misalnya Conus nobilis skinneri da Motta, 1982 (http://www.coneshell.net/):
Kingdom: Animalia
Phylum: Mollusca
Class: Gastropoda
Subclass: Prosobranchia
Order: Neogastropoda
Suborder: Toxoglossa
Superfamily: Conoidea
Family: Conidae
Genus: Conus
Species: nobilis
Subspecies: skinneri da Motta, 1982
Conus merupakan biota yang aktif pada malam hari sedangkan pada siang hari biota ini biasanya bersembunyi di bawah batuan maupun koral atau membenamkan dirinya ke dalam pasir. Mangsa alami conus terdiri dari ikan-ikan berukuran kecil, gastropoda, pelecypoda, octopus dan polychaeta. Conus dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan pada jenis mangsanya meliputi:
  1. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Piscivorous, yaitu mangsanya berupa ikan.
  2. <!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Molluscivorous, mangsanya berupa moluska lainnya.
  3. Vermivorous, mangsanya berupa cacing.
Lebih dari 70 spesies conus adalah piscivorous, demikian halnya dengan conus yang bersifat molluscivorous berjumlah kurang lebih 70 spesies, sedangkan lebih dari 150 spesies lainnya adalah vermivorous termasuk memangsa hemichordata dan echiuroids. Jenis conus yang bersifat piscivorous terutama terdapat di kawasan Indo-Pasifik, misalnya C. geographus, C. aulicus, C. magnus, C. striatus, dan C. tulipa. Jenis-jenis tersebut pada umumnya memiliki racun yang berbahaya terhadap manusia, dibanding conus yang bersifat vermivorous seperti C. clerii, C. jaspidus, dan C. regius. Meskipun demikian sebagian besar conus memiliki efek racun yang berbahaya bagi manusia.
Conus mendeteksi adanya mangsa di lingkungan menggunakan “siphon” yang dilengkapi dengan kemoreseptor. Kemudian menjulurkan proboscisnya keluar untuk melumpuhkan target. Ujung proboscis tersebut terdapat gigi radular menyerupai seruit dan mengandung racun (conotoxin) yang sangat berbahaya bagi mangsanya.
Conotoxin dihasilkan dari “long tubular duct” yang panjang dan seringkali hampir sama dengan panjang tubuh Conus itu sendiri. Salah satu ujungnya terdapat sebuah “muscular bulb” yang dapat berkontraksi menghasilkan kekuatan pada gigi radularnya saat menginjeksi racun. Gigi radular yang menyerupai seruit ini dibentuk dalam kantong radular (radular sac) yang terisi racun, kemudian dialirkan melalui ‘buccal cavity’ ke ujung proboscisnya yang dibantu dengan adanya otot radular.
Saat kontak dengan mangsa, gigi pada ujung proboscis ditusukkan ke dalam jaringan mangsa dan menginjeksi racunnya. Proses pelumpuhan mangsa bisa terjadi hanya beberapa detik saja sehingga kecil kemungkinan dapat melarikan diri. Setelah mangsa lemas kemudian Conus menarik masuk mangsa melalui pembukaan proboscisnya ke dalam perutnya untuk didigesti.
Komposisi racun Conus pada umumnya berbeda-beda sesuai dengan jenis spesies dan individu dalam masing-masing spesies serta sesuai dengan mangsa yang dilumpuhkan. Komponen aktif dari conotoxin berupa racun peptida rantai kecil, umumnya 12-30 residu asam amino sesuai dengan densitas ikatan disulfida. Komposisi dari conotoxin berbeda-beda pada tiap injeksi. Aktivitas farmakologi juga berubah, racun conus mengandung peptida neurotoksik paralitik dan bersifat lethal. Efek lethal ini pernah dicobakan pada mencit.
Komponen paralitik dari conotoxin telah menjadi fokus kajian ilmu pengetahuan terutama farmakologi. Komponen itu antara lain alpha-, omega-, dan myu-conotoxin. Target dari masing-masing komponen conotoxin berbeda-beda. Target alpha-conotoxin adalah ikatan ligand nicotonic, myu-conotoxin targetnya voltage-gated sodium channel sedangkan target omega-conotoxin adalah voltage-gated calcium channel.
Source:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar